Friday, January 18, 2019

Keadaan alam di suatu daerah dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Misalnya, kehidupan masyarakat di daerah pegunungan akan berbeda dengan kebiasaan masyarakat di darah pantai.
Masyarakat tradisional di daerah masih banyak yang bergantung pada alam terutama di daerah terpencil. Semakin terpencil dan jauh dari perkotaan, maka semakin kuat pengaruh alam terhadap kehidupan masyarakat. Kebudayaan masyarakat juga dibentuk oleh kondisi alam. Misalnya, kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kepercayaan animisme yaitu kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami semua benda seperti pohon, sungai, gunung, batu, dan benda-benda lainnya. Mereka juga mempercayai bahwa gejala alam merupakan kekuatan yang perlu di sembah. Kepercayaan dinamisme yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia.
Contoh kepercayaan animisme dan dinamisme, misalnya gunung Tidar di Jawa Tengah di percaya sebagai paku yang menjadi pasak Pulau Jawa. Selain itu, sepanjang pantai selatan laut jawa di percaya sebagai wilayah kerajaan Nyai Roro Kidul. Hingga kini mitos ini masih mengakar kuat pada sebagian masyarakat Indonesia.
Orang yang bermukim di pegunungan sebagian besar hidup dengan bercocok tanam. Karena lereeng gunung curam, beberapa petani membuat sistem ladang bertingkat untuk bercocok tanam. 
Bentuknya tersusun seperti anak tangga yang besar di lereng gunung. Beberapa petani masih melakukan kebiasaan bembuat sesaji terlebih dahulu sebelum menanam tanaman. Suhu udara pegunungan yang cukup dingin membuat orang orang pegunungan berpakaian tertutup dan tebal. Kebudayaan dan adat istiadat masyarakatnya juga di pengaruhi oleh keaadaan alamnya. Seperti penduduk yang bermukim di Pegunungan Tengger, Jawa Timur, atau lebih dikenal dingan suku Tengger. Di kawasan Pegunungan Tengger terdapat gunung Bromo yang di anggap suci oleh suku Tengger. Setiap tahun suku Tengger selalu mengadakan upacara kesodo di kawah gunung Bromo. Kebiasaan ini di ikuti turun temurun oleh masyarakat Tengger. Orang-orang tengger biasanya menyelimuti tubuhnya dengan baju hangat dan menggunakan penutup kepala untuk menghindari udara pegunungan.
Masyarakat pantai memiliki kebiasaan yang berbeda dengan orang orang gunung. Masyarakat pantai hidup dari hasil laut. Sebagian besar penduduknhya bekerja sebagai nelayan. Sehari-hari mereka mencari ikan di laut. Ada juga yg membuat aneka kerajinan dari kerang kerang laut. Hasilnya di jual kepada pengunjung yang berwisata ke pantai.
Sebagian besar masyarakat pantai masih menganut anismisme dan dinamisme. Kebudayaan dan adat istiadat nenek moyang masih di lakukan secara rutin. Miasalnya para Nelayan mempersembahkan sesaji untuk dewa laut sebelum mencari ikan. Di beberapa daerah pantai Indonesia, masyarakat menggelar upacara adat pada waktu- waktu tertentu. Seperti di pantai Samas, Bantul, Yogyakarta. Setiap bulan suro pada kalender Jawa di adakan ritual budaya labuhan jalanibhi. Upacara ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan memohon agar nelayan di beri limpahan hasil laut.
Dalam upacara ini, berbagai macam sesaji dan kemudian dilarung kelaut. Untuk memeriahkan acara, kesenian tari gombyong dan campur sari turut ditampilkan. Warga masyarakatpun sangat antusias menyaksikan dan mengikuti jalannya upacara tersebut.
Kehidupan masyarakat di daerah sungai juga mememiliki keunikan tersendiri. Indonesia memiliki daerah aliran sungai yang cukup banyak, terutama di pulau Kalimantan.
Sungai sangat penting artinya bagi masyarakat. Selain sebagai sumber air, juga untuk sarana transportasi hingga ke pedalaman. Kayu hasil hutan di pedalaman diangkut melalui sungai untuk dijual ke daerah lain atau ekspor. 
Di Kalimantan dapat kita jumpai perkampungan-perkampungan yang dibangun di atas air. Seperti yang terdapat di Pontianak,Kalimantan Barat. Perumahan didirikan di atas air dengan penyangga dipancangkan ke dasar sungai. Di sungai Martapura Kalimantan Selatan dijumpai rumah lanting, yaitu rumah terapung dan juga pasar terapung.
Kehidupan masyarakat pedalaman masih sangat bergantung pada alam. Sebagai contoh suku Asmat, masyarakat pedalaman Papua. Mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berburu, meramu, dan mengumpulkan hasil-hasil hutan. Hidupnya berpindah-pindah di sekitar hutan sagu. Suku Asmat juga mengembangkan kebudayaan kayu, yaitu kebiasaan membuat ukiran kayu. Pakaian yang dikenakan masih sangat sederhana terbuat dari kulit kayu atau binatang.
Orang-orang pedalaman membangun rumah panggung untuk tempat tinggal. Sebab, rumah panggung dapat menghindari binatang buas yang masih banyak ditemui di daerah pedalaman.
Bentuk-bentuk lain yang berkembang seperti pakaian adat, tarian adat, senjata tradisional, seni pertunjukan, alat music daerah, lagu daerah, dan makanan khas diyakini terbentuk dengan menyesuaikan pada keadaan alamnya. Maka secara garis besar, dapat ditaruk suatu kesimpulan bahwa adat kebiasaan dan kebudayaan sangat tergantung dari jenis kenampakan alam yang ada di wilayah setempat.
Berbeda dengan kehidupan di daerah, kehidupan masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih beragam. Masyarakat perkotaan identik dengan heterogen, yaitu terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, dan golongan. Untuk melangsungkan kehidupannya, mereka tidak mengandalkan alam tetapi lebih pada keterampilan, keahlian dan kemampuan masing-masing. Masyarakat di perkotaan jarang melaksanakan upacara adat, karena mereka terdiri dari suku bangsa yang berbeda, dan memiliki adat kebiasaan yang berbeda pula. Dan biasanya, perekonomian di perkotaan digerakkan oleh berbagai macam kegiatan usaha jasa, keahlian, dan perdagangan.

NB :Daftar Bacaan : Yudhistira _ Horison, IPS, Drs. Sudjatmoko Adisukaro dkk

0 comments:

Post a Comment

Pengunjung

Pengumuman..!

Pengumuman..!
Pengumuman

Total Pageviews

Powered by Blogger.

Popular Posts