Monday, January 21, 2019

Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di Dunia. Kepulauan Indonesia terdiri dari atas kurang lebih 13.667 pulau besar dan kecil, dengan beraneka ragam kekayaan alam, suku bangsa, kebudayaan, dan bahasa.
Keragaman suku bangsa, budaya, bahasa tersebut, merupakan khazanah bangsa Indonesia yang tak bisa dinilai harganya. Hal ini tentunya sudah disadari oleh bangsa Indonesia, oleh karena itulah, keragaman ini begitu dipelihara dan dihormati Negara. Seni dan budaya yang menonjol dikembangkan menjadi budaya Nasional.
Keberagaman yang ada di Indonesia, tidak justru membuat bangsa Indonesia terpecah-belah. Akan tetapi, Keberagaman tersebut dijadikan dasar untuk membina persatuan bangsa, yakni dengan dasar Negara. Bangsa Indonesia mempunyai dasar negara yang menjadi falsafah dalam bernegara yang dikenal dengan Pancasila. Pancasila dijadikan sebagai dasar bernegara oleh masyarakat Indonesia untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Cita-cita untuk membentuk Negara kesatuan ini, sebenarnya sudah ada sejak dikumandangkannya “Sumpah Pemuda” oleh para pendahulu kita pada tahun 1928. Mereka menyatakan, bahwa di Indonesia hanya ada satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia.
Keberagaman dan persatuan ini, oleh bangsa Indonesia dijadikan semboyan Negara yang tertera dalam lambang Garuda Pancasila. Semboyan itu berbunyi, “Bhinneka Tunggal Ika”, sebuah semboyan yang diambil dari kitab Sutasoma yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 oleh Mpu Tantular. Semboyan tersebut memiliki makna “Berbeda-beda tetap satu”
Berbeda suku bangsa, budaya, bahasa, agama, dan kepercayaan, namun tetap satu jua, dalam bingkai Indonesia. Dengan harapan, masyarakat dapat hidup tertib, aman, rukun, dan damai dalam persatuan.

Daftar Bacaan : Yudhistira _ Horison, IPS, Drs. Sudjatmoko Adisukaro dkk.

Sunday, January 20, 2019


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), merupakan suatu wadah organiasi Perkaderan bagi mahasiswa Islam sebagai tempat berproses untuk melakukan pengabdian ke-umatan. Organisasi besutan Prof. Lafran Pane yang didirikan pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H bertepatan 5 Februari 1947 itu, kini tengah menyebar luas di berbagai perguruan tinggi diberbagai daerah di Indonesia, melahirkan lebih dari 6.000.000 alumni, 600.000 kader aktif dan 211 lebih cabang se-antero bumi ibu pertiwi, tidak terkecuali di Labuhanbatu Raya.
Proses perkaderan yang dilakukan secara terus-menerus adalah alasan tepat mengapa organisasi yang sudah berusia lanjut ini masih tetap eksis di NKRI dalam menggapai asanya yang identik dengan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Dan, yang tidak kalah penting dari eksistensi yang masih tetap bertahan tersebut, adalah dinamikanya yang tinggi, walaupun tidak jarang dinamika itu harus menguras pikiran, tenaga, waktu, dan materi.

Namun demikian, disadari atau tidak, secara alamiah terkadang justru dinamika itulah yang menjadi proses pendewasaan bagi setiap kader-kader HMI dimanapun berada. Dan hal tersebut, telah terjadi di HMI Cabang Labuhanbatu Raya, sebuah dinamika panjang yang memakan waktu lebih dari 2 tahun lamanya.
24 September 2016, adalah awal mula hingga terjadinya dinamika panjang tersebut, saat dimana Konferensi Cabang (Konfercab) ke VIII dilaksanakan di Gedung PKK Kabupaten Labuhanbatu yang harus berujung kepada terpecah dan terbelahnya kader HMI Se-Kawasan Cabang Labuhanbatu Raya.

Terpecah, bukan berarti pecah secara totalitas layaknya suatu konflik, melainkan pecah karena adanya perbedaan pandangan dan perbedaan muara gerakan. 

Disaat itulah kader HMI Cabang Labuhanbatu Raya ditengah-tengah publik seakan dianggap dualisme. Ya, Suatu kondisi pahit yang tidak jarang menyebabkan terjadinya gesekan di internal kader, memudarnya silaturahmi dan bahkan tidak jarang sampai hujat-menghujat.

Lantas, apa penyebab hal itu bisa terjadi ?
Tidak lain dan tidak bukan, adalah untuk mempertahankan eksistensi, antara siapa yang legal dan siapa yang illegal, siapa yang benar dan siapa yang salah.
Hari-hari berganti hari, bulan berganti bulan, dinamika panjang itu ternyata bukan mengurangi eksistensi HMI di Cabang Labuhanbatu Raya, siapa sangka, ternyata justru sebaliknya malah menaikkan eksistensi HMI itu sendiri. Bagaimana tidak, dua faksun yang berdinamika tersebut saling menunjukkan eksistensinya ditengah-tengah masyarakat, seakan berjalan lebih cepat, dan berbuat lebih banyak, atas nama HMI.

Namun, apalah arti suatu eksistensi, kalau dalam prosesnya terjadi saling sikut-menyikut. 

Apalah arti suatu eksistensi, kalau dalam prosesnya harus saling menghujat. 

Apalah arti suatu eksistensi, kalau dalam prosesnya membuat memudarnya tali silaturahmi.

Apalah arti suatu eksistensi, kalau dahulunya yang saling tegur sapa kini harus membuang muka. 

Apalah arti suatu eksistensi, kalau yang dahulunya sering bercanda tawa kini harus berjauhan.

Apalah arti suatu eksistensi, kalau yang dahulunya sering makan sepiring berdua bahkan lebih, kini harus berjauhan. 

Eksistensi itu takkan berguna sama sekali, kalau pada akhirnya harus berujung kepada perpecahan diantara sesama kader..!

Saudaraku, sehimpun secita.
Kalau kita mau merenung, bertanya kepada hati kecil kita dengan mengesampingkan ke-egoan masing-masing, sedikit banyaknya keinginan untuk kembali seperti dahulu pasti sempat terdetak dalam hati kecil kita, tidak terkecuali penulis sendiri. Namun, karena sudah terlanjur melangkah terlalu jauh, dinamika terlanjur menjadi benang kusut, hingga menyebabkan tidak jarang akhirnya detakan hati kecil itu kita abaikan begitu saja, sehingga egoisme-lah yang akhirnya menjadi pemenang!

Saudaraku, sehimpun secita.
Barangkali, semua kita sepakat, mengapa dinamika tersebut bisa terjadi, tidak lain adalah demi bendera tercinta, bendera yang menjadi kebanggaan kita bersama, Himpunan Mahasiswa Islam.

Namun, diatas itu semua wahai saudaraku, ada hal yang lebih fundamental dan amat penting dari hanya sebatas Eksistensi, yaitu perwujudan anekdot "Berteman Lebih Dari Saudara".

Saudaraku, sehimpun secita.
Mari merenung sejenak, mari kita ingat masa-masa saat kita LK I dahulu, mari kita ingat saat-saat kita diajarkan tentang arti sebuah kebersamaan, mari kita resapi kekhilafan yang telah kita lakukan atas nama Sang Hijau Hitam, mari kita tanya diri kita seberapa besar ke-egoan kita, mari kita niatkan dalam hati hati kecil kita untuk tidak mengulangi kondisi itu kembali.

Saudaraku, sehimpun secita.
Alangkah berdosanya kita kalau harus terjerumus kembali kedalam dinamika panjang itu, alangkah berdosanya kita yang sering mendengungkan di HMI lebih dari saudara kalau harus kembali kepada dinamika panjang itu.

Saudaraku, sehimpun secita.
Mari berbenah, mari memperbaiki, mari melangkah, mari kembali menyatukan kekuatan, masih banyak hal yang jauh lebih penting untuk kita lakukan daripada harus berdinamika. Biarlah kejadian itu menjadi Cerita itu menjadi bunga-bunga dalam catatan perjalanan HMI di Labuhanbatu Raya.
Saudaraku, sehimpun secita yang berbahagia.

Pada tanggal 03 November 2018, HMI Cabang Labuhanbatu Raya telah kembali melebur dalam satu Visi dan Misi pada kepengurusan periodesasi 2018-2019. Terlepas bagaimanya proses hingga peleburan itu terjadi, namun prosesi hikmat tersebut haruslah diakui akan kebenarannya. Peleburan yang diikat dengan sumpah suci dalam prosesi Pelantikan Pengurus yang berasal dari seluruh keterwakilan Komisariat se-kawasan yang digelar di gedung PKK Kabupaten Labuhanbatu. Tempat dimana awal terjadinya dinamika panjang dahulu.

Saudaraku, sehimpun secita yang berbahagia.
Mari menatap kedepan, kita jadikan kisah kelam dinamika panjang tersebut sebagai I’tibar untuk kita memperbaiki diri agar lebih baik lagi. Yang lalu biarlah berlalu, lupakan semua percekcokan yang dahulu mungkin sempat terkuak, lupakan semua pertikaian yang dahulu mungkin sempat terjadi.

Saudaraku, sehimpun secita yang berbahagia.
Mari berbenah, tidak ada kata terlambat, mari saling membuka hati untuk bisa memaafkan, biarlah kejadian kelam tersebut menjadi pembelajaran kedepan nantinya, pembelajaran yang dapat menjadi ilmu untuk generasi berikutnya bahwa tidak ada gunanya suatu perpecahan.

Saudaraku, sehimpun secita yang berbahagia.
Bukan maksud hati untuk menggurui, bukan maksud hati untuk menyakiti, bukan maksud hati untuk melukai, bukan maksud hati untuk membenci.

Tak ada gading yang retak, tak ada manusia yang tidak memiliki kesalahan. Demikan halnya dengan penulis, penulis hanyalah manusia biasa yang tak terlepas dari hal tersebut.

Walau tangan tak saling berjabat, walau mata tak saling menatap, barangkali dalam tulisan ini terdapat hati yang terlukai oleh penulis, diatas segala kekurangan, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.


Akhirnya, semoga apa yang kita harapkan senantiasa berada dalam Ke-Ridhoan Allah SWT.

Yakinkan Dengan Iman, Usahakan Dengan Ilmu, Sampaikan Dengan Amal.
Bahagia HMI, Jayalah KOHATI,
Yakin Usaha Sampai.
Wassalam.

M. Qobullah Siregar (Bukan Siapa-siapa)

Nb: Tulisan ini merupakan terbitan kedua, setelah sebelumnya diterbitkan oleh MQS Collection (mqobullahsiregar.blogspot.com).




25 November, setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Hari Guru Se-Indonesia ini dirayakan sebagai bentuk penghargaan atas jasa para guru, yang di anggap sebagai sang pahlawan tanpa tanda jasa. 
Mengapa tanggal 25 November dipilih sebagai Hari Guru? Mengutip berbagai sumber, tanggal 25 November ditetapkan sebagai Hari Guru berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 78 tahun 1994.
Berbeda dengan perayaan Hari Guru di negara lainnya, Hari Guru Nasional di Indonesia bukanlah menjadi hari libur nasional. Biasanya, sekolah-sekolah merayakan Hari Guru dan Hari PGRI dengan upacara.Tidak hanya itu, pemberian tanda jasa kepada guru juga diberikan.

Perayaan pengabdian dan jasa para guru diperingati bersamaan dengan hari ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI. PGRI sendiri terbentuk pada 25 November 1945 oleh Rh. Koesnan, Djajeng Soegianto, Amin Singgih, Soetono, Soemidi Adisasmito, Ali Marsaban, dan Abdullah Noerbambang. Namun sebelum akhirnya menjadi persatuan para guru, perkumpulan ini bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). 
PGHB ini didirikan pada 1912, dengan beranggotakan kepala sekolah, guru bantu, guru desa, sampai kepada perangkat sekolah lainnya. Seiring berjalannya waktu, keanggotaan mereka semakin lama semakin berkembang dan makin menasional.  Mereka pun memutuskan untuk mengubah nama PGHB menjadi persatuan Guru Indonesia (PGI). Nama ini tak ayal membuat pemerintah Belanda kaget, sebab ada nama Indonesia di dalamnya. Bagi pemerintah Belanda hal ini dianggap sebagai sebuah ancaman untuk pemerintahan mereka. 
Perubahan nama ini dilakukan pada tahun 1932. Perjuangan untuk memerdekakan Indonesia pelan-pelan akhirnya makin kuat bersama para guru, satu per satu jalan semakin terbuka. Namun memasuki penjajahan Jepang, PGI tidak lagi melakukan aktivitas dan organisasi pun dilarang.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, membuat PGI menggelar Kongres Guru Indonesia untuk yang pertama kalinya pada 24-25 November 1946 di Surakarta, Jawa Tengah. 
Salah satu hasil Kongres itu adalah untuk menghapuskan perbedaan suku, ras, agama, politik, dan lainnya untuk bergabung menjadi satu Indonesia. Pada 25 November 1945, mereka mensahkan terbentuknya PGRI. Sebagai salah satu bentuk penghormatan pada para guru, pemerintah pun menetapkan hari lahir PGRI sebagai Hari Guru Nasional. 



Nb: Tulisan ini merupakan terbitan kedua, setelah sebelumnya diterbitkan oleh MQS Collection (mqobullahsiregar.blogspot.com).


Al Jam'iyatul Washliyah (الجمعيةالوصليه ) adalah salah satu organisasi Islam di Indonesia. Kata Al jam'iyatul Washliyah berasal dari Bahasa Arab Yang artinya Perkumpulan atau perhimpunan yang menghubungkan, baik yang menghubungkan Manusia dengan Allah (hablun minallah) dan yang menghubungkan Manusia dengan Manusia (hablun minannas). 
Tujuan utama berdirinya organisasi Al Washliyah ketika itu adalah sebagai sarana pemersatu umat yang berpecah belah dan berbeda pandangan. Perselisihan tersebut merupakan bagian dari strategi Belanda untuk terus berkuasa di bumi Indonesia, kemudian Organisasi Al Washliyah menggalang persatuan ummat untuk melawan penjajahan belanda di muka bumi indonesia, hingga diraihnya kemerdekaan.
Penjajah Belanda yang menguasai bumi Indonesia terus berupaya agar bangsa Indonesia tidak bersatu, sehingga mereka terus mengadu domba rakyat. Segala cara dilakukan penjajah agar rakyat berpecah belah. Karena bila rakyat Indonesia bersatu maka dikhawatirkan bisa melawan pejajah Belanda. Upaya memecah belah rakyat terus merasuk hingga ke sendi-sendi agama Islam. 
Umat Islam kala itu dapat dipecah belah karena disibukkan dengan perbedaan pandangan dalam hal fur’iah. Kondisi ini terus meruncing, hingga umat Islam terbagi menjadi dua kelompok yang disebut dengan kaum tua dan kaum muda. Perbedaan paham di bidang agama ini semakin hari kian tajam dan sampai pada tingkat meresahkan.


Dengan terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam di Sumatera Utara khususnya di Kota Medan, pelajar yang menimba ilmu di Maktab Islamiyah Tapanuli Medan, berupaya untuk mempersatukan kembali umat yang terpecah belah itu. Upaya untuk mempersatukan umat Islam terus dilakukan hingga akhirnya terbentuklah organisasi Al Jam’iyatul Washliyah pada tanggal 30 November 1930 atau 9 Rajab 1349 Hijriah di Maktap Islamiyah Tapanuli Selatan, Medan. Adapun Tokoh pendiri Al Alwashliyah yakni Ismail Banda, Abdurrahman Syihab, Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Adnan Nur Lubis, Syamsudin, Yusuf Ahmad Lubis.

Nb: Tulisan ini merupakan terbitan kedua, setelah sebelumnya diterbitkan oleh MQS Collection (mqobullahsiregar.blogspot.com).
TGT merupakan singkatan dari kata “Tuan Guru Tampan”.
Ya, julukan TGT tersebut diberikan oleh beberapa kalangan untuk salah seorang ustadz yang berasal dari Provinsi Sumatera Utara Kabupaten Labuhanbatu Utara yang kini tengah menjadi perbincangan di kalangan warga Net belum lama ini.
Ustadz Mulkan Silaen, MA, begitu nama beliau. Seorang ustadz kelahiran Gunting Saga, 24 Maret 1983 ini ternyata telah melanglang buana dalam bekecimpung di dunia dakwah lintas Kabupaten dan lintas Provinsi. 
Pendidikan terakhir beliau adalah Strata Dua (S2) Program Studi Tafsir Hadis di Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara pada tahun 2012. Pada saat Program Strata Satu (S1), beliau adalah alumni Program Studi Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2008. Dan Saat ini, beliau tengah menempuh Strata Tiga (S3) Program Studi Ilmu Hadis di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.

Selain berdakwah dan membina umat, aktifitas beliau adalah sebagai seorang dosen tetap, di Universitas Al Washliyah (Univa) Labuhanbatu.
Lantas, apakah sebab beliau di juluki Tuan Guru Tampan (TGT) ?Sebagian mahasiswa beliau mengungkapkan ada beberapa alasan mengapa beliau di juluki TGT. Seperti yang dikatakan "R" misalnya, beliau mengatakan ada beberapa poin sehingga ia dijuluki TGT.
"Ustadz Mulkan sering kami juliki TGT pertama ya, karena ustadz itu memang lumayan tampan, muda, enerjik, seorang Qori', dan yang paling penting beliau masuk keberbagai usia, termasuk usia muda". Ucap "R" yang enggan disebutkan namanya.

Nb: Tulisan ini merupakan terbitan kedua, setelah sebelumnya diterbitkan oleh MQS Collection (mqobullahsiregar.blogspot.com).

Friday, January 18, 2019

Keadaan alam di suatu daerah dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Misalnya, kehidupan masyarakat di daerah pegunungan akan berbeda dengan kebiasaan masyarakat di darah pantai.
Masyarakat tradisional di daerah masih banyak yang bergantung pada alam terutama di daerah terpencil. Semakin terpencil dan jauh dari perkotaan, maka semakin kuat pengaruh alam terhadap kehidupan masyarakat. Kebudayaan masyarakat juga dibentuk oleh kondisi alam. Misalnya, kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kepercayaan animisme yaitu kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami semua benda seperti pohon, sungai, gunung, batu, dan benda-benda lainnya. Mereka juga mempercayai bahwa gejala alam merupakan kekuatan yang perlu di sembah. Kepercayaan dinamisme yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia.
Contoh kepercayaan animisme dan dinamisme, misalnya gunung Tidar di Jawa Tengah di percaya sebagai paku yang menjadi pasak Pulau Jawa. Selain itu, sepanjang pantai selatan laut jawa di percaya sebagai wilayah kerajaan Nyai Roro Kidul. Hingga kini mitos ini masih mengakar kuat pada sebagian masyarakat Indonesia.
Orang yang bermukim di pegunungan sebagian besar hidup dengan bercocok tanam. Karena lereeng gunung curam, beberapa petani membuat sistem ladang bertingkat untuk bercocok tanam. 
Bentuknya tersusun seperti anak tangga yang besar di lereng gunung. Beberapa petani masih melakukan kebiasaan bembuat sesaji terlebih dahulu sebelum menanam tanaman. Suhu udara pegunungan yang cukup dingin membuat orang orang pegunungan berpakaian tertutup dan tebal. Kebudayaan dan adat istiadat masyarakatnya juga di pengaruhi oleh keaadaan alamnya. Seperti penduduk yang bermukim di Pegunungan Tengger, Jawa Timur, atau lebih dikenal dingan suku Tengger. Di kawasan Pegunungan Tengger terdapat gunung Bromo yang di anggap suci oleh suku Tengger. Setiap tahun suku Tengger selalu mengadakan upacara kesodo di kawah gunung Bromo. Kebiasaan ini di ikuti turun temurun oleh masyarakat Tengger. Orang-orang tengger biasanya menyelimuti tubuhnya dengan baju hangat dan menggunakan penutup kepala untuk menghindari udara pegunungan.
Masyarakat pantai memiliki kebiasaan yang berbeda dengan orang orang gunung. Masyarakat pantai hidup dari hasil laut. Sebagian besar penduduknhya bekerja sebagai nelayan. Sehari-hari mereka mencari ikan di laut. Ada juga yg membuat aneka kerajinan dari kerang kerang laut. Hasilnya di jual kepada pengunjung yang berwisata ke pantai.
Sebagian besar masyarakat pantai masih menganut anismisme dan dinamisme. Kebudayaan dan adat istiadat nenek moyang masih di lakukan secara rutin. Miasalnya para Nelayan mempersembahkan sesaji untuk dewa laut sebelum mencari ikan. Di beberapa daerah pantai Indonesia, masyarakat menggelar upacara adat pada waktu- waktu tertentu. Seperti di pantai Samas, Bantul, Yogyakarta. Setiap bulan suro pada kalender Jawa di adakan ritual budaya labuhan jalanibhi. Upacara ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan memohon agar nelayan di beri limpahan hasil laut.
Dalam upacara ini, berbagai macam sesaji dan kemudian dilarung kelaut. Untuk memeriahkan acara, kesenian tari gombyong dan campur sari turut ditampilkan. Warga masyarakatpun sangat antusias menyaksikan dan mengikuti jalannya upacara tersebut.
Kehidupan masyarakat di daerah sungai juga mememiliki keunikan tersendiri. Indonesia memiliki daerah aliran sungai yang cukup banyak, terutama di pulau Kalimantan.
Sungai sangat penting artinya bagi masyarakat. Selain sebagai sumber air, juga untuk sarana transportasi hingga ke pedalaman. Kayu hasil hutan di pedalaman diangkut melalui sungai untuk dijual ke daerah lain atau ekspor. 
Di Kalimantan dapat kita jumpai perkampungan-perkampungan yang dibangun di atas air. Seperti yang terdapat di Pontianak,Kalimantan Barat. Perumahan didirikan di atas air dengan penyangga dipancangkan ke dasar sungai. Di sungai Martapura Kalimantan Selatan dijumpai rumah lanting, yaitu rumah terapung dan juga pasar terapung.
Kehidupan masyarakat pedalaman masih sangat bergantung pada alam. Sebagai contoh suku Asmat, masyarakat pedalaman Papua. Mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berburu, meramu, dan mengumpulkan hasil-hasil hutan. Hidupnya berpindah-pindah di sekitar hutan sagu. Suku Asmat juga mengembangkan kebudayaan kayu, yaitu kebiasaan membuat ukiran kayu. Pakaian yang dikenakan masih sangat sederhana terbuat dari kulit kayu atau binatang.
Orang-orang pedalaman membangun rumah panggung untuk tempat tinggal. Sebab, rumah panggung dapat menghindari binatang buas yang masih banyak ditemui di daerah pedalaman.
Bentuk-bentuk lain yang berkembang seperti pakaian adat, tarian adat, senjata tradisional, seni pertunjukan, alat music daerah, lagu daerah, dan makanan khas diyakini terbentuk dengan menyesuaikan pada keadaan alamnya. Maka secara garis besar, dapat ditaruk suatu kesimpulan bahwa adat kebiasaan dan kebudayaan sangat tergantung dari jenis kenampakan alam yang ada di wilayah setempat.
Berbeda dengan kehidupan di daerah, kehidupan masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih beragam. Masyarakat perkotaan identik dengan heterogen, yaitu terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, dan golongan. Untuk melangsungkan kehidupannya, mereka tidak mengandalkan alam tetapi lebih pada keterampilan, keahlian dan kemampuan masing-masing. Masyarakat di perkotaan jarang melaksanakan upacara adat, karena mereka terdiri dari suku bangsa yang berbeda, dan memiliki adat kebiasaan yang berbeda pula. Dan biasanya, perekonomian di perkotaan digerakkan oleh berbagai macam kegiatan usaha jasa, keahlian, dan perdagangan.

NB :Daftar Bacaan : Yudhistira _ Horison, IPS, Drs. Sudjatmoko Adisukaro dkk

Pengunjung

Pengumuman..!

Pengumuman..!
Pengumuman

Total Pageviews

Powered by Blogger.

Popular Posts